Pada tanggal 29 April kemarin, SINEMA KITA melaksanakan rangkaian pertama dari program kami yang bertema "agama dan seksualitas" dengan memutarkan film karya Luhki Herwanayogi yang berjudul "On Friday Noon". Pemutaran ini diselenggarakan di Ruang Multimedia dan dihadiri oleh 26 penonton, baik dari dalam UNIKA Atma Jaya, maupun dari pihak luar seperti Universitas Indonesia dan Sekolah Tinggi Teologi Jakarta. Film ini menceritakan usaha seorang waria bernama Wina untuk melakukan shalat Jumat meskipun beragam rintangan muncul di hadapannya. Setelah pemutaran, dilakukan diskusi bersama Danny Yatim, salah satu dosen honorer di Fakultas Psikologi UNIKA Atma Jaya.
Film pendek yang mengangkat perjuangan seorang waria untuk melaksanakan ibadah yang dirasa menjadi kewajibannya ini menimbulkan banyak pertanyaan dari penonton yang hadir pada saat itu. Identitas gender Wina dikaitkan dengan nilai religius yang dianutnya terlihat aneh bahkan berkonflik antara satu sama lain. Ketika Mas Danny menanyakan pendapat penonton yang kala itu hadir, beragam jawaban muncul, mulai dari sedih karena di akhir cerita Wina tidak sempat sholat karena sudah telat, hingga adanya kemungkinan akan berbagai interpretasi seperti lokasi syuting yang dipilih: kering dan gersang - apakah dapat menjadi simbolisme bagi emosi yang dirasakan oleh Wina? Beberapa orang lainnya menganggap film "On Friday Noon" memberikan insight akan ketidakadilan yang dihadapi oleh kaum tertindas seperti waria dan mendorong penonton untuk belajar lebih berempati kepada mereka.
Mas Danny sendiri mengiyakan bahwa film tersebut seakan-akan menggambarkan bahwa kehidupan seorang waria akan selalu seperti itu, kemanapun dia pergi akan selalu 'ditabrak'. Mulai dari ditangkap oleh polisi, menghadapi stigma negatif dari lingkungan masyarakat, hingga kesulitan mendapatkan akses terhadap hal-hal yang menjadi haknya, seperti beribadah. Mas Danny menerangkan bahwa setiap transgender dengan transgender lainnya tidak dapat disamaratakan, karena identitas gender yang dipegang masing-masing individu bervariasi. Wina menjadi contoh waria yang masih menganggap dirinya tetap wajib untuk menunaikan ibadah shalat Jumat, yang sebenarnya hanya diwajibkan bagi pria saja.
Salah satu penonton mempertanyakan apakah waria yang patuh beragama merupakan kejadian yang wajar di kehidupan sehari-hari karena terlihat ekstrim, Mas Danny bercerita bahwa di Yogyakarta terdapat sebuah pesantren khusus waria yang menjadi wadah bagi mereka yang ditolak masyarakat dan kebetulan setting pada film berlatarbelakang di Yogyakarta juga. Namun, Mas Danny menambahkan, bahwa pesantren itu baru-baru ini terpaksa ditutup karena 'meresahkan warga'. Hal tersebut menjadi contoh dari betapa sulitnya untuk bertahan dan mendapatkan safe space di lingkungan masyarakat yang masih memandang waria dengan sebelah mata.
Pertanyaan lain yang timbul adalah menyangkut LGBT sebagai isu yang hangat menjadi pembicaraan kontroversial di tengah-tengah masyarakat selama tiga bulan terakhir. Seperti apa saja yang menjadi penyebab LGBT yang dijawab oleh Mas Danny bahwa menemukan penyebab dari hal tersebut tidak sepenting mencari solusi dari ketimpangan sosial yang ada, meskipun usaha mencari penyebab telah banyak dilakukan.
Pada akhirnya, diskusi ditutup dengan perumpamaan bahwa selama ini manusia beroperasi dan membangun sistem dengan perspektif apa yang normal dan cenderung 'lupa' dengan adanya perbedaan-perbedaan di dalam masyarakat. Mas Danny mengumpamakan bahwa di dalam masyarakat terdapat orang kidal (dominan menggunakan tangan kiri), namun masyarakat seakan-akan tidak pernah memikirkan mengenai orang-orang kidal dan membangun sistem yang menguntungkan orang-orang yang dominan menggunakan tangan kanan saja. Hal ini serupa dengan diskriminasi yang terjadi dengan komunitas LGBT, bahwa mereka cenderung dilupakan dan dipaksa untuk fit in dengan sistem sosial yang menjadikan 'normal' sebagai standar.
Film pendek yang mengangkat perjuangan seorang waria untuk melaksanakan ibadah yang dirasa menjadi kewajibannya ini menimbulkan banyak pertanyaan dari penonton yang hadir pada saat itu. Identitas gender Wina dikaitkan dengan nilai religius yang dianutnya terlihat aneh bahkan berkonflik antara satu sama lain. Ketika Mas Danny menanyakan pendapat penonton yang kala itu hadir, beragam jawaban muncul, mulai dari sedih karena di akhir cerita Wina tidak sempat sholat karena sudah telat, hingga adanya kemungkinan akan berbagai interpretasi seperti lokasi syuting yang dipilih: kering dan gersang - apakah dapat menjadi simbolisme bagi emosi yang dirasakan oleh Wina? Beberapa orang lainnya menganggap film "On Friday Noon" memberikan insight akan ketidakadilan yang dihadapi oleh kaum tertindas seperti waria dan mendorong penonton untuk belajar lebih berempati kepada mereka.
Mas Danny sendiri mengiyakan bahwa film tersebut seakan-akan menggambarkan bahwa kehidupan seorang waria akan selalu seperti itu, kemanapun dia pergi akan selalu 'ditabrak'. Mulai dari ditangkap oleh polisi, menghadapi stigma negatif dari lingkungan masyarakat, hingga kesulitan mendapatkan akses terhadap hal-hal yang menjadi haknya, seperti beribadah. Mas Danny menerangkan bahwa setiap transgender dengan transgender lainnya tidak dapat disamaratakan, karena identitas gender yang dipegang masing-masing individu bervariasi. Wina menjadi contoh waria yang masih menganggap dirinya tetap wajib untuk menunaikan ibadah shalat Jumat, yang sebenarnya hanya diwajibkan bagi pria saja.
Salah satu penonton mempertanyakan apakah waria yang patuh beragama merupakan kejadian yang wajar di kehidupan sehari-hari karena terlihat ekstrim, Mas Danny bercerita bahwa di Yogyakarta terdapat sebuah pesantren khusus waria yang menjadi wadah bagi mereka yang ditolak masyarakat dan kebetulan setting pada film berlatarbelakang di Yogyakarta juga. Namun, Mas Danny menambahkan, bahwa pesantren itu baru-baru ini terpaksa ditutup karena 'meresahkan warga'. Hal tersebut menjadi contoh dari betapa sulitnya untuk bertahan dan mendapatkan safe space di lingkungan masyarakat yang masih memandang waria dengan sebelah mata.
Pertanyaan lain yang timbul adalah menyangkut LGBT sebagai isu yang hangat menjadi pembicaraan kontroversial di tengah-tengah masyarakat selama tiga bulan terakhir. Seperti apa saja yang menjadi penyebab LGBT yang dijawab oleh Mas Danny bahwa menemukan penyebab dari hal tersebut tidak sepenting mencari solusi dari ketimpangan sosial yang ada, meskipun usaha mencari penyebab telah banyak dilakukan.
Pada akhirnya, diskusi ditutup dengan perumpamaan bahwa selama ini manusia beroperasi dan membangun sistem dengan perspektif apa yang normal dan cenderung 'lupa' dengan adanya perbedaan-perbedaan di dalam masyarakat. Mas Danny mengumpamakan bahwa di dalam masyarakat terdapat orang kidal (dominan menggunakan tangan kiri), namun masyarakat seakan-akan tidak pernah memikirkan mengenai orang-orang kidal dan membangun sistem yang menguntungkan orang-orang yang dominan menggunakan tangan kanan saja. Hal ini serupa dengan diskriminasi yang terjadi dengan komunitas LGBT, bahwa mereka cenderung dilupakan dan dipaksa untuk fit in dengan sistem sosial yang menjadikan 'normal' sebagai standar.